Aku
sudah lama tidak bertemu Rita. Sahabat mulai dari SD. Sekarang kami
jadi satu tempat kerjaan. Kami menjadi pelayan rumah makan terkemuka di
kota Madura. Dulu kami berpisah saat kami sama-sama lulus SMA. Sekarang
aku bertemu dengannya lagi. Meski rinduku sangat mendalam, aku sedikit
merasa kecewa. Rita yang sekarang sangat berbeda dengan Rita yang dulu.
Rita yang dulu begitu alami dan manis. Sekarang aku selalu melihatnya
dengan wajah penuh make up tebal. Dan setauku dulu rambutnya panjang
indah. Sekarang dia selalu memakai wig. Dia selalu memakai parfum yang
menyengat hidung. Setiap aku bertemu dengannya aku selalu acuh. Aku jadi
begitu membencinya. Di antara semua temanku, menurutku dia yang
terlihat paling norak. Tapi dia selalu menyapaku dengan ramah. Entah
kenapa aku malah merasa jijik melihatnya. Menurutku dia terlalu genit
kepada para pelanggan yang datang. Aku benar-benar membencinya.
Dia
selalu menawariku makan pagi, makan siang, makan malam...begitu
seterusnya. Dia tak peduli meski aku begitu membencinya.Aku benar-benar nggak habis pikir, apa yang membuat dia jadi begitu berubah 180 derajat seperti ini. Meski kuakui kebaikannya masih kuranglebih seperti dulu. Rita sungguh berbeda. Hari itu Rita memintaku untuk pulang bersama ke kos-kosan.
"Dina...pulang bareng aku yah??" Meski aku ingin menolak tapi dia tetap saja membuntuti aku.
"Dina...sebenarnya
aku nggak nyangka kalo aku bisa bertemu lagi sama kamu. Di sini...di
kota yang jauh dari ortu dan saudara-saudara kita. Aku sangat senang."
Aku
menghentikan langkahku. Melihat wajahnya yang masih ada make up tebal
itu. "Aku lebih senang kalo kita nggak pernah bertemu lagi. Kamu bukan
Rita sahabatku yang dulu. Sahabatku yang dulu tidak norak dan genit
seperti kamu" Dia masih tetap saja tersenyum.....
"Tapi aku tetap menganggap kamu sahabat terbaikku....dulu, sekarang, selamanya tetap sahabat..."
"Dengar...buatku itu nggak penting lagi."
"Malam ini aku ingin kamu ke kos ku. Aku ingin menceritakan sesuatu. Karena kamu adalah sahabatku. Maka kamu harus tau."
"Aku tidak mau."
"Ini
permintaanku yang terakhir, Din?" Rita menarik tanganku cepat. Mau tak
mau aku mengikutinya. Kosnya tidak terlalu besar, hanya cukup untuk 1
orang saja. Rita menarikku masuk.
"Duduklah"
Aku segera menarik tanganku dan duduk. Rita menuju wastafell dan mencuci mukanya. Sebentar dia memandang ke cermin dan mengambil handuk. Mengusap mukanya hingga kering. Dia berbalik memandangku. Aku tercekat. Bagaimana mungkin? Yang kulihat adalah Rita yang tidak bermakeup tebal. Wajah Rita menjadi sangat tua dan pucat. Mata Rita berkaca-kaca.
Aku segera menarik tanganku dan duduk. Rita menuju wastafell dan mencuci mukanya. Sebentar dia memandang ke cermin dan mengambil handuk. Mengusap mukanya hingga kering. Dia berbalik memandangku. Aku tercekat. Bagaimana mungkin? Yang kulihat adalah Rita yang tidak bermakeup tebal. Wajah Rita menjadi sangat tua dan pucat. Mata Rita berkaca-kaca.
"Karena
kamu adalah sahabat terbaikku, Din" Aku masih terduduk dengan kaku.
Tuhan, alisnya pun ternyata putih. Astaga....Rita memegang wig yang
masih terpasang di kepalanya kemudian, dia melepasnya. Tuhan, apa yang
sesungguhnya terjadi? Rambut Rita tinggal beberapa helai saja, kepalanya
hampir botak.
Aku
mendekatinya, menyentuh wajahnya dengan tangan gemetar. Rita mulai
meneteskan airmatanya. Aku menyentuh kepalanya. Tuhan, ini benar-benar
kenyataan.
"Aku sakit, Din. Aku selalu kesakitan. Setiap malam aku selalu merasakan sakit yang luar biasa. Aku seperti ingin mati saja. Aku ingin mengakhiri semuanya. Tapi aku selalu ingin berjuang. Aku ingin seperti kamu. Yang sehat dan bersemangat."
"Rit.....aku..."
"Malam ini tdurlah di sini, hari ini rasanya aku begitu lelah" Aku memapah Rita ke sofa. Dia berbaring di atas pangkuanku. "Aku nggak berani memejamkan mata, Din. Aku nggak pernah minum obat dari dokter. Malam ini begitu indah ya Din?"
Aku terdiam. Airmataku tak mau berhenti menetes. Rasanya aku benar-benar ingin memeluk Rita dengan erat. Tapi melihat tubuhnya begitu rentan, aku seolah takut tubuhnya kan lepas satu per satu. Rita mulai memejamkan matanya.
"Aku sakit, Din. Aku selalu kesakitan. Setiap malam aku selalu merasakan sakit yang luar biasa. Aku seperti ingin mati saja. Aku ingin mengakhiri semuanya. Tapi aku selalu ingin berjuang. Aku ingin seperti kamu. Yang sehat dan bersemangat."
"Rit.....aku..."
"Malam ini tdurlah di sini, hari ini rasanya aku begitu lelah" Aku memapah Rita ke sofa. Dia berbaring di atas pangkuanku. "Aku nggak berani memejamkan mata, Din. Aku nggak pernah minum obat dari dokter. Malam ini begitu indah ya Din?"
Aku terdiam. Airmataku tak mau berhenti menetes. Rasanya aku benar-benar ingin memeluk Rita dengan erat. Tapi melihat tubuhnya begitu rentan, aku seolah takut tubuhnya kan lepas satu per satu. Rita mulai memejamkan matanya.
Tuhan....aku
telah bersalah kepadanya selama ini. Benarkah aku adalah sahabat yang
baik untuknya? Bahkan dalam keadaan yang buruk pun aku tak bisa menerima
dia apa adanya...Bahkan aku telah membencinya....Aku bahkan tak
menganggapnya sebagai sahabatnya lagi....Tapi dia ternyata tidak
berubah..Dia tak berubah....Rita sekarang sama dengan Rita yang dulu....
Gundukan
tanah ini belum terlalu kering. Untuk ke-7 kalinya aku datang.
Menaburkan bunga mawar kesukaan Rita dan membersihkan makamnya. Aku
selalu ingat kata-kata terakhir Rita "Menjadi sahabat bukan hanya saat
sahabat itu ada, menjadi sahabat bukan hanya saat sahabat itu
baik.....karna sekali menjadi sahabat maka selamanya akan menjadi
sahabat..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar