Beberapa
bulan lalu, gereja dimana saya menggembalakan mengadakan sebuah
turnamen golf. Acara ini diadakan bukanlah untuk mencari siapakah yang
terhebat diantara para anggota jemaat atau memperebutkan hadiah besar,
namun ini semata-mata untuk pendanaan misi gereja.
Setiap
orang yang ikut dalam kegiatan ini diminta kesediaannya memberikan
donasinya. Puji Tuhan, tidak ada jemaat yang mempermasalahkan apa gereja
kami lakukan.
Saya
dan peserta turnamen golf yang lain pun mengangkat tas berisi stik golf
yang sebelumnya sudah kami persiapkan dari rumah. Kami pun berjalan
menuju lapangan tempat start memukul bola. Sesampainya disana,
MC membacakan urutan orang yang akan memukul bola. Setelah selesai,
peserta pertama turnamen golf ini pun maju menuju tempat mengawali
memukul bola.
Singkatnya,
tibalah waktu saya sebagai peserta terakhir melakukan pemukulan bola.
Dengan percaya diri, saya mengambil stik dan berjalan lalu berdiri di
samping bola yang akan saya pukulkan. Hanya dalam hitungan detik, saya
pun akhirnya mengayunkan stik golf saya. Seperti peserta lain yang telah
bermain sebelumnya, saya pun menyelesaikan pukulan saya dengan baik.
Namun, yang menjadi terbaik pada pada turnamen tersebut bukanlah saya,
tetapi anggota jemaat saya yang usianya 55 tahun.
Keesokan
harinya, tiba-tiba datanglah seorang pria ke rumah saya. Saya pikir ia
datang untuk konseling, tetapi saya salah. Ia ternyata datang untuk
memberikan hasil fotonya kepada saya. Tanpa berpanjang lebar, ia pun
mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tasnya dan menyerahkannya kepada
saya. Ketika saya buka, betapa kagetnya saya melihat kumpulan foto-foto
dimana saya sedang bermain golf pada hari kemarin.
Bagi
saya, foto-foto tersebut sungguh sangatlah lucu. Mengapa? Karena saya
disana bukanlah seperti seorang pegolf profesional, tetapi lebih mirip
seorang komedian. Saya pikir saya telah mengayunkan stik golf layaknya
seorang Fred Couples, tetapi kamera fotografer ini memperlihatkan sebuah
hal yang jujur bahwa ayunan golf saya seperti Moms Mabley. Lihat, Anda
tidak bisa menipu kamera.
Mungkin
saat ini kita berpikir kitalah manusia yang terhebat, tercerdas, dan
terbaik dan orang lain ada di bawah kita. Namun, ketika kita membuka
Alkitab yang tak lain adalah kamera Allah, kita akan tersadar bahwa
semua anggapan kita itu salah. Kita ini tak lain adalah manusia tak
sempurna, makhluk hidup yang berdosa yang mendapatkan kasih karunia
Allah. Kita seharusnya di alam maut, namun oleh kasih Allah kita
akhirnya masuk ke dalam kerajaan Allah.
Jadi
kalau begitu atas dasar apakah kita menghakimi orang lain? Bukankah
firman-Nya berkata hendaklah setiap orang menguji dirinya masing-masing?
Biarlah hari ini kita melihat diri kita saja. Ingatlah, Allah telah
memiliki gambaran kekal diri Anda dan saya dan itu tak pernah berbohong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar